Rabu, 25 Agustus 2010

Makalah Tata Negara

BAB    I

PENDAHULUAN

“Pembentukan DPD dilandasi gagasan untuk mengubah system perwakilan menjadi system dua kamar (bikameral) hal tersebut merupakan hal yang lazim terdapat pada banyak negara demokrasi. DPD tersebut dilembagakan berdasarkan BAB VII A Pasal 22C dan 22D dalam UUD 1945 pasca amandemen”.

A.    Latar Belakang

Dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia keterwakilan rakyat merupakan kemutlakan dalam system demokrasi. Termasuk didalamnya keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga baru dalam tata hukum di Indonesia. DPD adalah badan perwakilan tingkat pusat yang baru (Perubahan Ketiga UUD 1945). DPD juga merupakan representasi aspirasi masyarakat dari setiap daerah yang telah memperjuangkan suara serta kepentingan daerah demi tetap terjaganya semangat persatuan dan kesatuan.

Gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1998 menjadi salah satu wujud perkembangan Indonesia sebagai suatu bangsa yang menjadi pertanda penyesuaian struktur-struktur berbangsa dan bernegara dengan perubahan zaman dan tuntutan-tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Masa transisi Indonesia menuju demokrasi merupakan salah satu tahapan yang menjadi fase penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang di antaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Dengan perubahan tersebut bukan saja berarti tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, serta tidak ada lagi anggota MPR yang diangkat, tetapi juga dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Keberadaan Utusan Daerah dalam komposisi keanggotaan MPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum diubah) kurang memberi makna bagi kepentingan daerah. Hal ini karena tugas dan wewenang MPR yang tidak terkait dengan pembentukan undang-undang. Tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945 (sebelum diubah) adalah mengubah undang-undang dasar, menetapkan garis-garis besar haluan negara, serta memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden.

Namun, dalam perkembangannya DPD masih banyak mengalami keterbatasan dalam hal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai representasi masyarakat. Dalam sistem dua kamar pada lembaga MPR yang terdiri dari DPR dan DPD seharusnya kedua lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang seimbang akan tetapi dalam kenyataannya DPD hanya mempunyai kewenangan untuk mengusulkan saja tidak sampai memutuskan asanya ketidakharapan itu terlihat dalam susunan dan kedudukan DPD yang diatur oleh Undang-Undang.

Penerapan system bikameral di Indonesia yang lunak, dimana fungsi dan wewenang DPD sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dibatasi hanya pada kepentingan-kepentingan kewilayahan (daerah) seperti otonomi daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, penggabungan dan pemekaran daerah, hubungan antara pusat dan daerah. Padahal pembatasan fungsi dan wewenang tersebut dapat mematikan kreativitas dan hasrat politik DPD untuk lebih berpartisipasi secara berkesinambungan manyangkut kondisi kebangsaan dan kenegaraan, yang akibatnya mendorong ketidakefektifan parlemen dalam merumuskan dan mengartikulasikan harapan dan keinginan masyarakat.

 

B.     Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, dapat diambil suatu perumusan masalah yaitu bagaimanakah kewenangan DPD sebagai Badan Legislatif berdasarkan Pasal 22 D UUD 1945?

 

 

BAB    II

PEMBAHASAN

 “Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang." Rumusan semula Pasal 2 ayat (1) tersebut bunyinya adalah: "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang."

 

DPD merupakan lembaga baru yang muncul melalui perubahan ketiga UUD 1945. hadirnya DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia diatur dalam Pasal 22 C dan 22 D. Adapun dalam Pasal 22 D kewenangan DPD diatur sebagai berikut:

1.      Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2.      Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

3.      Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai, otonomi daerah pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, . pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

4.      Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dengan Undang-Undang.

 

 

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 telah mengakibatkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia. Salah satu perubahan yang sangat mendasar adalah kewenangan di bidang perundang-undangan, khususnya kewenangan membentuk undang-undang.

 

“Perubahan kewenangan pembentukan undang-undang merupakan akibat dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang dilakukan pada Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945. Selain itu juga munculnya suatu lembaga negara baru yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya ditulis DPD) yang diberikan kewenangan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dan kehendak daerah dalam pembentukan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksananan otonomi daerah”.

 

Pasal 22 D UUD 1945 pada intinya adalah mengenai kewenangan DPD meliputi tiga aspek, yaitu:

1.      Dapat mengajukan RUU kepada DPR

2.      Ikut membahas RUU

3.      Melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang

 

Dari tiga kewenangan tersebut pada umumnya dikaitkan dengan otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan termasuk pengelolaan sumber daya alam di daerah, pendidikan, agama dan perpajakan. Berdasarkan Pasal 41 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk, fungsi DPD dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1.      Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.

2.      Pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.

 

Kewenangan dan fungsi yang demikian menggambarkan adanya hubungan subordinasi dalam kedudukan DPD, karena DPD ruang kewenangannya tidak lebih hanya untuk mengusulkan, turut membantu dan melakukan pengawasan. Dalam pengajuan usul RUU DPD hanya menyalurkan kepada DPR karena kewenangan  untuk menetapkan RUU tersebut tetap berada pada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

Pasal 42 ayat (3) UU Susduk bahkan menyatakan bahwa pembahasan RUU yang diusulkan oleh DPD tersebut dilakukan sebelum DPR membahas RUU tersebut dengan Pemerintah. Hal ini justru terkesan DPD diberikan posisi sebagai sampingan dalam mekanisme pembahasan RUU. Terkait dengan kewenangan pengawasan DPD terhadap pelaksanaan UU da;lam bidang-bidang tertentu, oleh Pasal 24 D ayat (3) dinyatakan bahwa DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dari uraian sebelumnya jelas peran DPD sebagai parlemen yang secara content menjadi saluran aspirasi bagi daerah sangatlah sulit terwujud karena kewenangan DPD berdasarkan Pasal 22 D UUD 1945 dan Pasal 42-48 UU Susduk sangatlah sempit. Selain itu, dari ketentuan Pasal 22 D dilihat bahwa DPD hanyalah badan komplementer DPR. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang menegaskan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang.

Selanjutnya pada ketentuan lain yang menegaskan DPD menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dan seharusnya sebagai Lembaga Tinggi baru dalam Parlemen Indonesia DPD harus diperkuat eksistensinya, tidak sekedar menjadi pelengkap dari hubungan antar lembaga tinggi dalam parlemen. Selama ini DPD dalam menjalankan wewenangnya hanya bisa dilaksanakan melalui DPR sehingga DPD akan terus bergantung kepada DPR dalam bekerja. Padahal, kondisi demikian menyebabkan DPD memiliki ruang gerak yang terbatas baik oleh konstitusi maupun sikap politik DPR.

Dengan demikian jelaslah bahwa pada hakikatnya DPD sebagai badan legislatif sangatlah terbatas. Selain itu, kedudukan DPD dalam bidang legislatif juga lemah dikarenakan DPD bukan badan legislatif penuh. DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan undang-undang dibidang tertentu saja yang disebut secara enumeratif dalam UUD.

Terhadap  hal-hal lain pembentukan undang-undang hanya ada pada DPR dan Pemerintah. Meskipun bukan lembaga legislatif penuh seharusnya DPR juga memperhatikan dan membahas RUU yang disampaikan oleh DPD dan mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU yang berkaitan dengan bidang-bidang yang disebutkan dalam UUD 1945. Mengingat, DPD dipilih secara langsung dalam pemilu seperti halnya DPR. Seharusnya mempunyai kewenangan yang sama pula dengan DPR khususnya dalam bidang legislasi.

Meskipun, secara normatif posisi DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia cukup kuat, namun posisinya dalam bidang legislasi sangatlah lemah. Padahal dari aspek kewakilannya terhadap rakyat, posisi DPD sangatlah kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, sehingga sangat logis bila perannya dalam pembentukan suatu UU disejajarkan dengan  DPR.

Keberadaan DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Bahwa kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak merugikan dan bahkan berpihak kepada kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Bahwa DPD akan menjamin kepentingan daerah sebagai bagian yang serasi dari kepentingan nasionial, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Bahwa kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan.

  BAB    III

KESIMPULAN

Reformasi menjadi salah satu wujud perkembangan Indonesia sebagai suatu bangsa yang menjadi pertanda penyesuaian struktur-struktur berbangsa dan bernegara dengan perubahan zaman dan tuntutan-tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Masa transisi Indonesia menuju demokrasi merupakan salah satu tahapan yang menjadi fase penting perkembangan Indonesia. Konfigurasi DPD yang demikian merupakan sesuatu yang kurang tepat, bahkan dalam penilaian banyak pakar hukum tata negara, merupakan hal ganjil jika ditinjau dari konsep dua kamar lembaga perwakilan. Harus diakui konsep sistem bikameral dalam konstitusi kita tidak mengacu kepada sistem bikameral mana pun juga, sehingga disebut khas Indonesia. Jika dibandingkan dengan sistem bikameral di negara lain.

  DAFTAR PUSTAKA

Huda, Ni’matul. 2005.  Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 Manan, Bagir. 2005. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH-UII Press, Cetakan Ketiga.

 Peraturan Perundang-undangan:

 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat 2002.

 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

www.google.com.

 

 

Senin, 26 Juli 2010

10. Teori Tujuan Negara Indonesia (Ilmu Negara)

1) Teori Kekuasaan

  • Shang Yang, yang hidup di negeri China sekitar abad V-IV SM menyatakan bahwa tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people.” Sepintas ajaran Shang Yang sangat kontradiktif karena menganggap upacara, musik, nyanyian, sejarah, kebajikan, kesusilaan, penghormatan kepada orangtua, persaudaraan, kesetiaan, ilmu (kebudayaan, ten evils) sebagai penghambat pembentukan kekuatan negara untuk dapat mengatasi kekacauan (yang sedang melanda China saat itu). Kebudayaan rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara.
  • Niccolo Machiavelli, dalam bukunya Il Principe menganjurkan agar raja tidak menghiraukan kesusilaan maupun agama. Untuk meraih, mempertahankan dan meningkatkan kekuasaannya, raja harus licik, tak perlu menepati janji, dan berusaha selalu ditakuti rakyat. Di sebalik kesamaan teorinya dengan ajaran Shang Yang, Machiavelli menegaskan bahwa penggunaan kekuasaan yang sebesar-besarnya itu bertujuan luhur, yakni kebebasan, kehormatan dan kesejahteraan seluruh bangsa.

2) Teori Perdamaian Dunia

Dalam bukunya yang berjudul De Monarchia Libri IIIDante Alleghiere(1265-1321) menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud apabila semua negara merdeka meleburkan diri dalam satu imperium di bawah kepemimpinan seorang penguasa tertinggi. Namun Dante menolak kekuasaan Paus dalam urusan duniawi. Di bawah seorang mahakuat dan bijaksana, pembuat undang-undang yang seragam bagi seluruh dunia, keadilan dan perdamaian akan terwujud di seluruh dunia.

3) Teori Jaminan atas Hak dan Kebebasan Manusia

a.  Immanuel Kant (1724-1804) adalah penganut teori Perjanjian Masyarakat karena menurutnya setiap orang adalah merdeka dan sederajat sejak lahir. Maka Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi dan menjamin ketertiban hukum agar hak dan kemerdekaan warga negara terbina dan terpelihara. Untuk itu diperlukan undang-undang yang merupakan penjelmaan kehendak umum (volonte general), dan karenanya harus ditaati oleh siapa pun, rakyat maupun pemerintah. Agar tujuan negara tersebut dapat terpelihara, Kant menyetujui azas pemisahan kekuasaan menjadi tiga potestas (kekuasaan): legislatoria, rectoria, iudiciaria (pembuat, pelaksana, dan pengawas hukum).

Teori Kant tentang negara hukum disebut teori negara hukum murni atau negara hukum dalam arti sempit karena peranan negara hanya sebagai penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara, tak lebih dari nightwatcher, penjaga malam). Negara tidak turut campur dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Pendapat Kant ini sangat sesuai dengan zamannya, yaitu tatkala terjadi pemujaan terhadap liberalisme (dengan semboyannya: laissez faire, laissez aller). Namun teori Kant mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti luas atau negara kesejahteraan (Welfare State). Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.

b.  Kranenburg termasuk penganut teori negara kesejahteraan. Menurut dia, tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteran pun meliputi berbagai bidang yang luas cakupannya, sehingga selayaknya tujuan negara itu disebut secara plural: tujuan-tujuan negara. Ia juga menyatakan bahwa upaya pencapaian tujuan-tujuan negara itu dilandasi oleh keadilan secara merata, seimbang.

Selain beberapa teori tersebut, ada pula ajaran tentang tujuan negara sebagai berikut:

  • Ajaran Plato: Negara bertujuan memajukan kesusilaan manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
  • Ajaran Teokratis (Kedaulatan Tuhan): Negara bertujuan mencapai kehidupan yang aman dan ternteram dengan taat kepada Tuhan. Penyelenggaraan negara oleh pemimpin semata-mata berdasarkan kekuasaan Tuhan yang dipercayakan kepadanya. Tokoh utamanya: Augustinus, Thomas Aquino)
  • Ajaran Negara Polisi: Negara bertujuan mengatur kemanan dan ketertiban masyarakat (Immanuel Kant).
  • Ajaran Negara Hukum: Negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum, segala kekuasaan alat-alat pemerintahannya didasarkan pada hukum. Semua orang – tanpa kecuali – harus tunduk dan taat kepada hukum (Government not by man, but by law = the rule of law). Rakyat tidak boleh bertindak semau gue dan menentang hukum. Di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara, sebaliknya rakyat berkewajiban mematuhi seluruh peraturan pemerintah/ negaranya.
  • Negara Kesejahteraan (Welfare State = Social Service State): Negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Negara adalah alat yang dibentuk rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial.

9. Macam-Macam Teori Kedaulatan Rakyat

1. Teori Kedaulatan Tuhan

Menurut teori ini pemerintah suatu negara memperoleh kekuasaan tertinggi langsung dari Tuhan. Penguasa negara adalah wakil Tuhan di dunia. Teori ini dianut oleh raja-raja pada jaman dahulu yang mengakui dirinya adalah keturunan dewa. Misalnya raja di Jawa Tengah pada jaman Hindu, Kaisar Jepang dan sebagainya. 

Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Thomas Aquinas, Agustinus, dan Marsilius.
______________________________________…
2. Teori Kedaulatan Negara

Menurut teori ini, pemerintah memperoleh kekuasaan tertinggi dari negara. Negara adalah kodrat alam, sedangkan kedaulatan itu sendiri ada sejak negara itu berdiri. Dengan demikian negara merupakan sumber kedaulatan hokum itu ada karena dikehendaki oleh negara. Teori kedaulatan ini pernah diberlakukan Rusia pada masa kekuasaan Tsar dan Jerman pada masa Hitler, serta Italia pada saat Mussolini berkuasa.

Pelopor teori ini adalah Hegel, Paul Laband, Jean Bodin dan George Jellinek.

______________________________________…
3. Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat memberikan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjalankan pemerintahan melalui sebuah perjanjian yang disebut kontrak social. Penguasa negara dipilih dan ditentukan atas kehendak rakyat melalui perwakilan yang duduk dalam pemerintahan.
Demikian pula sebaliknya, penguasa negara harus mengakui dan melindungi hak-hak rakyat serta menjalankan pemerintahan berdasarkan aspirasi rakyat. Apabila penguasa negara tidak dapat menjamin hak-hak rakyat dan tidak bisa memenuhi aspirasi rakyat, maka rakyat dapat mengganti penguasa tersebut dengan penguasa yang baru. 

Penganut teori ini adalah Solon,Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu dan J.J. Rousseau. Teori kedaulatan rakyat hampir diterapkan di seluruh dunia, namun pelaksanaannya tergantung pada rezim yang berkuasa, ideologi dan kebudayaan masing-masing negara.

8. Bentuk-bentuk Pemerintahan (Ilmu Negara)

1. Aristokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno aristo yang berarti “terbaik” dan kratia yang berarti “untuk memimpin”. Aristokrasi dapat diterjemahkan menjadi sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh individu yang terbaik.

Sebagai salah satu istilah bentuk pemerintahan, aristokrasi dapat dibandingkan dengan:

  • otokrasi – “pemerintahan oleh seorang individu”.
  • meritokrasi – “pemerintahan oleh individu yang paling pantas untuk memimpin”.
  • plutokrasi – “pemerintahan oleh orang-orang kaya”.
  • oligarki – “pemerintahan oleh segelintir individu”.
  • monarki – “pemerintahan oleh seorang individu”.
  • demokrasi – “pemerintahan oleh rakyat”.

2. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

3. Demokrasi totaliter adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh sejarahwan Israel, J.L. Talmon untuk merujuk kepada suatu sistem pemerintahan di mana wakil rakyat yang terpilih secara sah mempertahankan kesatuan negara kebangsaan yang warga negaranya, meskipun memiliki hak untuk memilih, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki partisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Ungkapan ini sebelumnya telah digunakan oleh Bertrand de Jouvenel dan E.H. Carr.

4. Diktatur adalah suatu bentuk pemerintahan otokratis yang dipimpin oleh seorang diktator. Kata ini mempunyai dua kemungkinan arti:

  • Diktator Romawi yaitu suatu jabatan politis dari Republik Romawi. Para diktator Romawi diberikan kekuasaan mutlak pada saat-saat darurat. Namun kekuasaan mereka tidak sewenang-wenang ataupun tidak dipertanggungjawabkan, karena mereka takluk kepada hukum dan membutuhkan pembenaran di kemudian hari. Setelah awal abad ke-2 SM, tidak ada lagi bentuk diktatur seperti itu, dan para diktator di kemudian hari, seperti misalnya Sulla dan Kaisar Romawi menggunakan kekuasaannya dalam cara yang jauh lebih besifat pribadi dan sewenang-wenang.
  • Dalam penggunaan masa kini, diktatur merujuk kepada suatu bentuk pemerintah absolut yang otokratis oleh suatu kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh hukum, konstitusi, atau faktor-faktor sosial dan politis lainnya di dalam negara.

5. Emirat (bahasa Arab: imarah, jamak imarat) adalah sebuah wilayah yang diperintah seorang emir, meski dalam bahasa Arab istilah tersebut dapat merujuk secara umum kepada provinsi apapun dari sebuah negara yang diperintah anggota kelompok pemerintah. Contoh penggunaan dalam arti yang terakhir disebut adalah Uni Emirat Arab, yang merupakan sebuah negara yang terdiri dari tujuh emirat federal yang masing-masing diperintah seorang emir.

6. Federal adalah kata sifat (adjektif) dari kata Federasi. Biasanya kata ini merujuk pada pemerintahan pusat atau pemerintahan pada tingkat nasional. Federasi dari bahasa Belanda, federatie, berasal dari bahasa Latin; foeduratio yang artinya “perjanjian”. federasi pertama dari arti ini adalah “perjanjian” daripada Kerajaan Romawi dengan suku bangsa Jerman yang lalu menetap di provinsi Belgia, kira-kira pada abad ke 4 Masehi. Kala itu, mereka berjanji untuk tidak memerangi sesama, tetapi untuk bekerja sama saja.

Dalam pengertian modern, sebuah federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk negara kesatuan. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas. Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja. Kelebihan sebuah negara kesatuan, ialah adanya keseragaman antar semua provinsi.

7. Meritokrasi Berasal dari kata merit atau manfaat, meritokrasimenunjuk suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidak adilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin.

Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap di pakai menentang birokrasi yang sarat KKN terutama pada aspek nepotisme.

8. Monarkisme adalah sebuah dukungan terhadap pendirian, pemeliharaan, atau pengembalian sistem kerajaan sebagai sebuah bentuk pemerintahan dalam sebuah negara.

9. Negara Kota adalah negara yang berbentuk kota yang memiliki wilayah, memiliki rakyat,dan pemerintahan berdaulat penuh. Negara kota biasanya memiliki wilayah yang kecil yang meiliki luas sebesar kota pada umumnya.

Negara-negara kota dewasa ini adalah Singapura, Monako dan Vatikan.

10. Oligarki (Bahasa Yunani: λιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Kata ini berasal dari kata bahasa Yunani untuk “sedikit” (λίγον óligon) dan “memerintah” (ρχω arkho).

11. Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara literal berarti “berkuasa sendiri” atau “penguasa tunggal”. Otokrasi biasanya dibandingkan dengan oligarki (kekuasaan oleh minoritas, oleh kelompok kecil) dan demokrasi (kekuasaan oleh mayoritas, oleh rakyat).

12. Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yamg mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki. Mengambil kata dari bahasa Yunani, Ploutos yang berarti kekayaan dan Kratos yang berarti kekuasaan. riwayat keterlibatan kaum hartawan dalam politik kekuasaan memang berawal di kota Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan Genova, Italia.

13. Republik Dalam pengertian dasar, sebuah republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau “urusan awam”, yanng artinya kerajaan dimilik serta dikawal oleh rakyat. Namun republik berbeda dengan konsep demokrasi. Terdapat kasus dimana negara republik diperintah secara totaliter. Misalnya, Afrika Selatan yang telah menjadi republik sejak 1961, tetapi disebabkan dasar apartheid sekitar 80% penduduk kulit hitamnya dilarang untuk mengikuti pemilu. Tentu saja terdapat juga negara republik yang melakukan perwakilan secara demokrasi.

15. Sistem presidensiil (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.

16. Semipresidensiil adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kedua sistem pemerintahan: presidensiil dan parlementer. Terkadang, sistem ini juga disebut dengan Dualisme Eksekutif. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga memiliki kekuasaan yang kuat. Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana menteri. Sistem ini digunakan oleh Republik Kelima Perancis.

17. Totalitarian Sebagai lawan dari sistem demokrasi, sistem totalitarian adalah bentuk pemerintahan dari suatu negara yang bukan hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi dan politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dari prilaku, kepercayaan dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya, tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh masyarakat.

18. Khalifah adalah gelar untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata “Khalifah” (خليفة Khalīfah) dapat diterjemahkan sebagai “pengganti” atau “perwakilan”. Pada awal keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai “Khalifat Allah”, yang berarti perwakilan Allah (Tuhan), tetapi pada perkembangannya, sebutan ini diganti menjadi “Khalifat rasul Allah”, yang berarti “pengganti Nabi Allah”, yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan “Khalifat Allah”. Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut “Khalīfah” sebagai pemimpin umat islam tersebut.

7. Bentuk-Bentuk Negara (Imu Negara)

Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada.

1. Negara Konfederasi

Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”

Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara. 

Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi. 

Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut :


Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara. 

Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.

2. Kesatuan

Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi). 

Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.

Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat. 

Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.

Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah. 

Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut :


Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri. 

Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah. 

3. Federasi

Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam. 

Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi. 

Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!

Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat. 

Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi :

Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan. 

Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru. 

Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.

6. Unsur Negara (Ilmu Negara)

Dalam rumusan konvensi Montevideo tahun 1933 disebutkan bahwa suatu Negara harus memiliki tiga unsure penting yaitu rakyat, pemerintah, dan wilayah yang disebut sebagai unsure konstitutif di tunjang pula adanya konstitusi dan pengakuan dari Negara lain.

1. Rakyat

Rakyat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang memiliki persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.

2. Wilayah Negara

Wilayah Negara mutlak di perlukan untuk tempat tinggal rakyatnya dan pemerintah menjalankan pemerintahannya yang terdiri dari :

a. Daratan (Wilayah darat)

b. Perairan (Wilayah Laut)

c. Wilayah Udara

3. Pemerintah yang Berdaulat

Pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari yang menjalankan kepentingan – kepentingan bersama.

4. Pengakuan dari Negara Lain

Pengakuan atas terbentuknya Negara terbagi menjadi 2 yaitu pengakuan de facto dan pengakuan de iure, secara de facto Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, secara de iure Indonesia di akui dunia internasional sejak tanggal 18 agustus 1945.

5. Pengertian Pengakuan De Jure (Ilmu Negara)

De jure (dalam bahasa Latin Klasik : de iure) adalah ungkapan yang berarti "berdasarkan (atau menurut) hukum", yang dibedakan dengan de facto, yang berarti "pada kenyataannya".

Istilah de jure dan de facto digunakan sebagai ganti "pada prinsipnya" dan "pada praktiknya", ketika orang menggambarkan situasi politik. Suatu praktik dapat terjadi de facto, apabila orang menaati suatu kontrak seolah-olah ada hukum yang mengaturnya meskipun pada kenyataannya tidak ada. Suatu proses yang dikenal sebagai "desuetude" dapat memungkinkan praktik-praktik de facto menggantikan hukum-hukum yang sudah ketinggalan zaman. Di pihak lain, suatu praktik mungkin tercantum di dalam peraturan atau de jure, sementara pada kenyataannya tidak ditaati atau diikuti orang.

Standar De jure dan de facto dapat berbeda-beda. Misalnya, Amerika Serikat tidak mempunyai bahasa de jure, sementara bahasa de facto adalah bahasa Inggris. Demikian pula standar untuk jarak de jure di AS adalah kilometer (karena AS ikut serta menandatangani Convention du Mètre), tetapi standar de facto-nya adalah mil.


Pengertian Pengakuan De Jure: pengakuan terhadap suatu pemerintahan secara hukum, ditandai dengan adanya pertukaran wakil diplomatik di antara kedua negara.